Asahan, TOPINFORMASI.COM– Sengketa lahan seluas 300 hektare di Desa Padang Sari, Kecamatan Tinggi Raja, Kabupaten Asahan, antara masyarakat adat Padang Sari dan PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) semakin memanas. PT BSP dituding tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengelola lahan yang diklaim sebagai warisan leluhur masyarakat adat.
Setelah mendapat tekanan dari berbagai elemen masyarakat dan lembaga adat, PT BSP diduga mulai menarik diri dari lahan tersebut. Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa lahan tersebut tidak lagi dikelola, pohon kelapa sawit tidak dipanen, dan sebagian kawasan telah berubah menjadi hutan. Kondisi ini semakin memperkuat dugaan bahwa PT BSP tidak lagi memiliki dasar hak pengelolaan atas tanah tersebut.
Masyarakat adat Padang Sari memiliki bukti historis yang kuat atas kepemilikan lahan tersebut. Di area sengketa, terdapat pohon durian berusia lebih dari 80 tahun dan makam-makam leluhur yang tetap dijaga. Fakta ini menegaskan bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari tanah adat yang diwariskan turun-temurun.
Saat ini, masyarakat mulai memanfaatkan kembali lahan tersebut secara damai dengan membangun pondok, membuat sumur bor, serta menanam pisang, tebu, dan sayur-sayuran. Aktivitas ini merupakan bentuk pemulihan hak dan kedaulatan masyarakat adat atas tanah mereka sendiri.
Lembaga Adat Desa Padang Sari pada Rabu (8/10/2025) mendesak pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Kabupaten Asahan, dan aparat penegak hukum, untuk segera turun tangan menyelesaikan konflik agraria ini secara hukum dan terbuka.
Ketua Lembaga Adat Padang Sari, Azri Lubis, menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan konflik ini berlarut-larut tanpa kepastian hukum. “Kami meminta pemerintah bertindak tegas. Hak masyarakat adat jangan diabaikan. Tanah ini adalah warisan leluhur kami yang memiliki bukti administratif kuat, yaitu SKT Nomor 37 Tahun 1934. Kami tidak ingin ada benturan di lapangan yang dapat menimbulkan korban,” tegasnya.
Masyarakat juga menolak segala bentuk aktivitas PT BSP di atas lahan tersebut karena diduga Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan telah berakhir sejak tahun 2022. Hingga kini, belum ada kejelasan status hukum lahan yang disampaikan secara terbuka kepada publik. Sebagai langkah antisipatif, masyarakat bersama lembaga pendamping telah memasang papan peringatan larangan masuk dan menetapkan kawasan tersebut dalam pengawasan hukum adat.
Praktisi hukum Hj Tri Atnuari SH, menilai bahwa posisi hukum masyarakat adat Padang Sari sangat kuat berdasarkan bukti historis dan fakta lapangan. “Apabila benar HGU PT BSP telah berakhir dan tidak diperpanjang sesuai ketentuan, maka secara hukum, lahan tersebut tidak lagi menjadi hak perusahaan. Negara melalui instansi terkait wajib melakukan evaluasi dan memprioritaskan pengembalian tanah itu kepada masyarakat adat sebagai pemilik asal,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa jika perusahaan tetap melakukan kegiatan tanpa dasar hukum yang sah, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan dapat dilaporkan secara pidana maupun perdata.
Lembaga Adat Padang Sari menegaskan akan terus mengawal proses penyelesaian sengketa ini hingga tuntas, serta meminta PT BSP menghentikan seluruh aktivitas di atas lahan yang masih berstatus sengketa sampai adanya keputusan resmi dari pemerintah dan lembaga hukum berwenang.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak manajemen PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) belum memberikan tanggapan resmi. Upaya konfirmasi yang dilakukan redaksi melalui berbagai saluran komunikasi belum mendapat respons.
Sejumlah tokoh masyarakat menilai bahwa PT BSP secara moral maupun hukum sudah tidak memiliki legitimasi untuk tetap menguasai lahan tersebut. Publik berharap pemerintah segera memberikan kejelasan status agar tidak muncul anggapan bahwa hukum hanya tajam ke rakyat kecil, tetapi tumpul kepada korporasi besar. (Red).
