Medan ,TOPINFORMASI.COM– Di balik isu viral perjuangan rakyat yang belakangan mengemuka, investigasi media menemukan fakta yang mencengangkan. Alih-alih memperjuangkan hak masyarakat, aksi tersebut justru disinyalir sebagai upaya perebutan lahan milik sah pihak lain, yang dibungkus narasi pembelaan terhadap rakyat.
Kisruh bermula dari video yang viral di media sosial, memperlihatkan seorang anak sekolah memanjat tembok setinggi tiga meter untuk pulang ke rumah. Video tersebut memantik empati publik, bahkan dijadikan simbol ‘penjajahan terhadap rakyat kecil’. Namun hasil investigasi menunjukkan sebaliknya.
Lahan yang disengketakan ternyata merupakan aset milik PT. Kawasan Industri Medan (PT. KIM) seluas dua setengah hektar, yang diduduki oleh sekelompok penggarap tanpa legalitas resmi. Dalam video yang tersebar, seorang tokoh yang berinisial GT disebut sebagai pihak yang menyuarakan ‘perjuangan rakyat’, padahal menurut warga sekitar, hal tersebut diduga hanya kedok untuk menggiring opini publik.
Rahmat (43), warga asli yang tinggal berdampingan dengan lahan PT. KIM, mengatakan dengan tegas, “Bang, jangan percaya apa yang diviralkan akun GT itu. Semua direkayasa. Mereka buat seolah-olah dizalimi, padahal kami masyarakat asli di sini yang justru dirugikan. Mereka bawa nama adat MHAD seolah mewakili kita, padahal membuat gaduh.”
Rahmat juga menyatakan bahwa warga kampung asli yang telah lama menetap dan memiliki surat resmi kini merasa terancam. “Kalau dua setengah hektar itu diakui sebagai tanah adat mereka, berarti kampung kami juga bisa mereka klaim dong? Ini bukan perjuangan rakyat, ini perebutan hak milik orang lain.”
Lebih jauh, warga menilai ada motif ekonomi dari kelompok yang mengklaim tanah tersebut. Mereka dinilai hanya ingin mendapatkan kompensasi atau ganti rugi. “Ngaku-ngaku tanah adat, padahal niatnya jual-jual kaplingan tanah. Kami tak mau dibenturkan sesama rakyat,” lanjut Rahmat dengan nada geram.
Sementara itu, dalam video viral, GT juga menyebut peristiwa ini sebagai bentuk "penjajahan terhadap rakyat kecil" dan berencana memperjuangkan hak masyarakat melalui sebuah partai besar. Namun banyak pihak menilai, klaim tersebut sarat kepentingan dan penuh narasi provokatif.
Investigasi lebih lanjut juga mengungkap bahwa di lokasi lain, seperti di kawasan Nabar Hilir, kelompok serupa menggunakan kekuatan fisik untuk menduduki lahan dan menjualnya dalam bentuk kapling ilegal.
Menanggapi hal tersebut, pihak PT. KIM melalui Humas perusahaan, Niko, membenarkan bahwa lahan tersebut adalah bagian dari kawasan industri yang selama ini tidak dimanfaatkan karena belum ada investor.
“Sudah sejak 2023 kami memberi ultimatum untuk mengosongkan area tersebut. Kami juga telah menawarkan solusi, yakni masyarakat bisa membeli lahan melalui koperasi resmi/CO yang bekerja sama dengan perusahaan. Bahkan kami memberikan keringanan cicilan dan bantuan modal usaha mikro dalam program CSR kami,” terang Niki.
Namun, menurutnya, upaya pendekatan itu ditolak oleh sebagian penggarap yang kemudian mengklaim sepihak lahan tersebut sebagai milik adat.
“Jika mereka tetap bertahan, akses akan kami tutup. Tapi kami pastikan semua langkah dilakukan secara humanis dan sesuai ketentuan hukum,” tambahnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tidak semua narasi perjuangan rakyat berangkat dari ketulusan. Terkadang, kepentingan tersembunyi justru menjadikan masyarakat sebagai tameng konflik yang sejatinya hanyalah persoalan perebutan Aset.(red)
