RDP ‘Tak Biasa” Kapolri dan Komisi III

/ Kamis, 21 November 2019 / 14.54
           Edy Irawan:Redaksi Tribrata TV

Topinformasi.com-Pemandangan ‘tak lazim’ Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Kapolri tersaji  secara terbuka di mata pubik, Rabu, 20 Nopember 2019. Poin ‘tak lazim’ biasa pertama yang tampil dari framing media massa dalam RDP kali ini;  Kapolri terkini  Jenderal Pol. Idham Aziz ‘menggandeng’ seluruh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) menghadiri RDP. Kebijakan Kapolri ini seyogianya patut diapresiasi seluruh kalangan sebagai implementasi komitmen beliau untuk menunjukkan kesolidan organisasi korp baju cokelat ini untuk  melayani seluruh Indonesia dan signal satu komando yang baik. Juga tentunya dapat mendengar berbagai keluhan, pertanyaan dan masukan dari rakyat yang didelegasikan dalam ‘metaforposis’ DPR.


Padahal dalam RDP sebelum-sebelumnya hanya dihadiri Kapolri dan pejabat utama (PJU) Mabes Polri.  Jika pun ada mengikutsertakan Kapolda, biasnya hanya Kapolda yang kebetulan wilayahnya akan dipertanyakan dalam rapat tersebut.


‘Ketaklaziman’ kedua; suasana RDP terasa lebih terbuka dan lebih menyentuh hal-hal yang sangat substansial berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Polri. Tiada basa-basi dan segala “uneg-uneg” rakyat disampaikan para legislator di Komisi III apa adanya. Pertanyaan kritis yang terkadang “memarginalkan” Polri disampaikan terbuka. Tak ketinggalan permintaan bagaimana seharusnya institusi Polri berproses dengan harapan mencari wujud insitusi Polri yang ideal.


Beberapa topik pembahasan yang direkonstruksi media dalam RDP kemarin setidaknya mengandung empat news value bagi media. Nilai Kedekatan (proximity). Kedekapan Polri dengan masyarakat tidak bisa dinapikkan begitu nyata. Berbagai dinamika dalam masyarakat baik berkaitan dengan persoalan hukum yang menjadi domain utama Polri, sosial kemasyarkatan, ekonomi hingga politik nyaris bermuara kepada insitusi ini.


Khusus aspek politik tentunya tidak dimaknai institusi Polri masuk ke ranah politik praktis. Namun politisi/parpol yang terkadang tak bisa tahan “selera” menyeret-nyeret institusi ini ke arena pertarungan perebutan kekuasaan.


Nilai kedua ketenaran (prominence). Adalah sebuah kenyataan bahwa jabatan Kapolri merupakan jabatan yang diimpikan seluruh anggota Polri sebagai puncak karir. Apalagi saat inii jabatan tersebut baru ber-estafet dari Jenderal Pol. (Purn) Tito Karnavian kepada Jenderal Aziz. Akan menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk melihat karakter dan program-program kerja yang ditawarkan beliau untuk bangsa ini.


Nilai aktualitas (timeless). Dari suguhan media kita bisa menyimpulkan secara sederhana betapa aktualnya isu-isu yang dibahas dalam RDP itu-yang nyaris tak pernah tersuguhkan-begitu vulgar. Dari isu polisi berperut gendut. Kasus Novel Baswedan yang masih belum terselesaikan, hingga persoalan yang sangat “seksi” bagi media yakni persoalan Kapolda/Kapolres meminta proyek yang disebut anggota komisi Trimedya Panjaitan kerap dikeluhkan kepala daerah. Topic ini menjadi sangat sensitif dan harus dilihat secara jernih dan utuh agar tidak menimbulkan ‘kegamangan’ para Kasatwil yang sedang diberi amanat di daerah.


Nilai keluarbiasaan (magnitude). Menjadi sesuatu yang sangat luar biasa tatkala Kapolri ‘mengesampingkan’ panggilan presiden ke istana demi  melanjutkan RDP atas permintaan sejumlah anggota komisi. Meski secara hirarki jabatn, Kapolri sejatinya ‘lebih patuh’ kepada presiden daripada anggota komisi III. Sangat luar biasa fenomena yang terjadi saat RDP ini.


Tak lazim ketiga; bahwa dalam hearing perdana Kapolri Jenderal Aziz ini,‘serangan demi serangan’anggota komisi hukum ini tidak hanya dilakukan anggota komisi III dari anggota parpol oposisi PKS dan PAN dan parpol “oposisi” Partai Demokrat. Tapi kritik tajam dan cukup keras juga disampaikan sejumlah anggota parpol pemerintah.


Topik yang dipertanyakan para anggota Parpol pemerintah pun terbilang tidak tanggung-tanggung. Berbagai persoalan krusial yang ‘membebani’ Polri meluncur deras kepada Kapolri dan jajaran.  Seperti disebutkan di atas, dari ‘PR’ kasus Novel KPK hingga persoalan interaksi pejabat Polri di daerah dengan Pemda, anggota Polri yang dikritik terlalu buncit, hingga persoalan cara berpakaian yang  menyentuh hal-hal estetika tak lepas dari daftar pertanyaan anggota komisi.


Niat konstruktif

Dinamika yang tersajikan dalam RDP bukan “lips service” ini seyogianya dillihat  secara positif. Beberapa hal  patut  diapresiasi dan dicatat dari para aktor di fakta media itu. Dari sisii legislator setidaknya sedikit menggeser “paradigma” basa-basi dalam menyampaikan suara rakyat saat “berkonfrontasi” dengan ekeskutif.


Namun yang lebih menarik diamati adalah perspektif institusi Polri yang di re-presentasikan oleh Kapolri dan pejabat-pejabat struktur di bawahnya. Meski dicecar berbagai pertanyaan dan permintaan merubah paradigm organisasi yang dilakukan terbuka di depan rakyat, Kapolri ‘berani’ menjawab secara terbuka. Kalimat-kalimat ‘rahasia umum’ mengalir lancar dari Jenderal Aziz yang diyakini sebagai niat memperbaiki organisasi.


‘Ketertinggalan’ dalam retorika dan public speakingJenderal Aziz dibanding pendahulunya Jenderal Tito, seolah senyap dengan ketulusan dan keterbukaannya menyampaikan kondisi institusi yang dipimpinnya, baik kekurangan dan tetap tidak ‘mengkerdilkan’ institusi yang dikomandoinya.


Apalagi sebelum RDP ini, dalam sutu kesempatan Jenderal Aziz sudah mengakui dirinya lebih ‘bahagia’ di lapangan mengejar teroris Santoso daripada harus menjadi Kapolri yang menuntut banyak berbicara di depan publik. Namun niat mereformasi tubuh institusi Polri seakan menjadi motivasi beliau terlihat tenang dan jawabannya mengalir lancar.


Jawaban demi jawaban yang disampaikan secara apa adanya semakin menguatkan harapan akan semakin baiknya institusi ini, setidaknya selama dirinya mengomandoi. Semoga harapan melihat Polri yang semakin dicintai rakyat dan professional terwujud, meski adagium No one Perfecttetap berlaku. Keep sprit Polri !(Red)
Komentar Anda

Berita Terkini