Di hadapan Wakapolres Asahan Kompol S. Riyadi, SH, perwakilan BPN Asahan, serta unsur Forkopimca, Wahyudi menyatakan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena perusahaan menilai wilayah tersebut masih dalam area HGU PT BSP. Pernyataan ini memicu keprihatinan karena dinilai sebagai pengakuan atas tindakan sepihak yang melanggar hukum.
Mediasi yang dipimpin Kompol S. Riyadi, SH, juga dihadiri Kabag OPS, Kasat Reskrim, Kapolsek Parapat Janji, serta para Kanit Polres Asahan. Kompol Riyadi menegaskan agar semua pihak menahan diri dan tidak bertindak di luar koridor hukum.
Masyarakat Desa Padang Sari menyampaikan bahwa security PT BSP telah empat kali membongkar pondok milik warga di lahan sengketa, yang merupakan tempat tinggal sementara dan tempat kerja masyarakat di areal yang mereka klaim sebagai tanah warisan leluhur.
Akhmat Saipul Sirait, Ketua Dewan Pembina LSM Gerakan Aliansi Rakyat Indonesia (GARI), menilai bahwa pengakuan PT BSP atas pembongkaran pondok masyarakat sebagai "tindakan tegas" adalah pelanggaran hukum. "Security tidak punya kewenangan membongkar atau menindak masyarakat. Yang berhak hanya kepolisian," tegasnya.
Saipul Sirait meminta Wakapolres menjelaskan siapa yang berhak melakukan tindakan tegas terhadap masyarakat jika melanggar hukum. Wakapolres menegaskan bahwa penegak hukum yang berhak melakukan tindakan tegas dan semua pihak harus menjaga Kamtibmas di wilayah Asahan.
Pernyataan Wakapolres sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa fungsi kepolisian meliputi pemeliharaan Kamtibmas dan penegakan hukum.
Perwakilan masyarakat, Azri Lubis dan Samsul Hadi Sitorus, meminta agar Polres Asahan bersikap netral serta BPN segera mengumumkan status HAK atas lahan 300 hektar di dusun satu desa Padang Sari. "Kami tidak ingin konflik. Kami hanya ingin hak kami diakui dan hukum ditegakkan," ujar Azri.
(Tim)
