Medan, TOPINFORMASI.COM– Ketua DPD Pemuda Demokrat Indonesia Sumatera Utara, Drs. Rafli Tanjung, mengecam keras penahanan MS (16), seorang pelajar SMA, oleh Polsek Medan Labuhan terkait kasus tawuran di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli. Rafli menilai tindakan kepolisian tersebut gegabah dan mengabaikan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
"Polsek Medan Labuhan seharusnya lebih bijak dalam menangani kasus ini. Penahanan MS dinilai prematur, terlebih mengingat statusnya sebagai anak di bawah umur yang diduga bukan pelaku utama," tegas Rafli. Ia menekankan bahwa UU SPPA mengatur penangguhan penahanan bagi anak yang bukan pelaku utama, apalagi jika ada jaminan dari orang tua, lembaga kesejahteraan sosial, atau pemerhati anak, sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012.
Rafli mendesak aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian, untuk lebih proaktif dalam memberikan edukasi dan sosialisasi hukum kepada anak-anak. Menurutnya, edukasi hukum krusial agar anak-anak memahami konsekuensi hukum dari tindakan seperti tawuran. "Jangan langsung menjustifikasi anak bersalah. Anak perlu dibina, bukan dipenjara," tegasnya.
Kekecewaan Rafli semakin bertambah karena upaya penangguhan penahanan yang diajukan orang tua MS bersama DPD LSM Penjara Sumut ditolak oleh pihak kepolisian. Hal ini, menurutnya, sangat disayangkan dan menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap UU SPPA.
"Penahanan anak di bawah umur seharusnya menjadi upaya terakhir. Pendekatan keadilan restoratif jauh lebih penting daripada pendekatan represif yang berpotensi merusak masa depan anak," ujar Rafli.
Kasus MS ini kembali menyoroti perlakuan aparat penegak hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Banyak pihak berharap agar prinsip perlindungan anak diutamakan dalam sistem peradilan pidana, dan pendekatan keadilan restoratif menjadi prioritas utama. (Red)