Debi Novita Minta LD Segera Ditangkap Atas Laporan UU ITE

/ Sabtu, 23 Juli 2022 / 13.22
TOPINFORMASI.COM, Medan- Terkait beredarnya pemberitaan yang tidak ramah anak yang diduga melanggar kode etik jurnalistik yang didalam pemberitaannya menjadikan anak-anak yang masih dibawah umur sebagai nara sumber pemberitaan terhadap prihal rumah tangga kedua orang tuanya dan menampilkan photo anak yang tidak diblur, alamat dituliskan dengan jelas, hingga kini, semenjak kasusnya dilaporkan oleh orang tua korban bernama Debi Novita pada 5 Febuari 2022, dengan terlapor berinisial LD tak kunjung mendapatkan kepastian hukum di negara Republik Indonesia ini.


Hal ini membuat Debi Novita, yang juga seorang ibu Bhayangkari meradang dan menduga tak dapat keadilan dimata hukum, inilah yang dirasakan Deni Novita.


" Saya sudah melaporkanya, nomor laporan STTLP/ B/ 408/ II/ YAN 2.5/2022/ SPKT/ Polrestabes Medan, yang saya laporkan beberapa media yang menjadikan anak saya sebagai nara sumber yang mana photonya tidak diblur. Walaupun ada beberapa media online yang sudah menghapus berita tersebut. Namun jejak digital kan ada dan beberapa pemberitaan tersebut sudah di sreenshoot dan di print dan telah diserahkan pada penyidik sebagai barang bukti. Informasi yang saya terima, pihak Satreskrim Polrestabes Medan berencana memanggil ahli pers, namun hingga saat ini belum ada perkembangan kasusnya. Apa tak ada keadilan lagi rupanya di Indonesia ini buat kami orang kecil ini, saya minta Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Panca Putra dan Kapolrestabes Medan, Kombes Pol Valentino Alfa Tatareda segera menangkap si pelaku segera, " ucap Debi Novita.


Ketua Lembaga Bantuan Hukum PERADI Kabupaten Deli Serdang, Dedi Suheri pada awak media ( 23/4/2022) mengatakan bahwa Polrestabes Medan telah menunjukkan sikap yang tak profesional.


" Mananggapi mandeknya laporan polisi seorang perempuan inisal DN terhadap seorang yang ber inisial LD atas dugaan pelanggaran pasal 45 jo 27 UU ITE dipolrestabes medan jelas menunjukkan tindakan yang  tidak profesional. Pihak Polrestabes medan, dimana kasus ini  sejak  5 Pebruari 2022 sampai dengan saat ini tidak ada kepastian hukum apakah kasus tersebut dilanjut, di SP3 atau disengaja di diamkan begitu saja, jelas hal ini sangat mengecewakan para pencari keadilan, berdasarkan info dari pelapor pihak terlapor bahkan sering berada di sekitar polrestabes medan, ada apa dengan Polrestabes medan, janganlah istilah " no viral no justice" menjadi asas hukum baru dalam sistem penegakkan hukum di kepolisian, siapapun dimata hukum itu sama tidak ada perbedaan equality before the law, maka atas hal ini kita harapkan kepada bapak Kapolrestabes medan, Kombes Pol Valentino Alfa Tatareda dan Kasat reskrim Polrestabes Medan, untuk untuk melakukan evaluasi atas adanya kasus-kasus yang bertahun-tahun tidak berjalan seperti ini, dan segera memproses laporan agar ada kepastian hukum bagi pencari keadilan, dengan tidak ada kepastian hukum agar masyarakat tidak menerka-nerka atau menduga-duga kenapa proses hukum atas laporannya tidak di proses," ucap Dedi Suheri.

Lanjutnya lagi, atas hal-hal lambanya proses laporan di polrestabes medan yang dialami seorang ber inisial DN ini kita harapkan pihak poldasu untuk melakukan evaluasi terhadap kapolrestabes medan, sebab seseorang melapor ke polisi hanya ingin mendapatkan kepastian hukum bukan untuk menunggu dengan ketidak pastian, dengan tidak ada proses yang jelas laporan sejak 05 pebruari 2022 sampai dengan saat ini, jelas kinerja pihak polrestabes medan sangat lah mengecewakan, harus di evaluasi sesegera mungkin," tegas Dedi Suheri.

Sementara itu, Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Kompol Teuku Fathir Mustafa saat dikonfirmasi ( 23/7/2022) melalui pesan WhatsApp berjanji akan segera memanggil penyidiknya.

" Oke, bentar saya panggil penyidiknya," tulis Kasat Reskrim Polrestabes Medan.


Menanggapi hal ini, sebelumnya ketua Persatuan Wartawan Indonesia, Farianda Putra Sinik, pada awak media melalui sambungan telepon (21/3/2022) mengatakan bahwa dalam menuliskan berita, seorang wartawan yang profesional harus mengetahui kode etik jurnalistik dan sistim pemberitaan ramah anak.


" kita harus tau dulu, wartawan yang menuliskan berita tersebut sudah lulus uji kompetensi wartawan atau belum. Kalau sudah tentunya ia pasti tau mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Nah yang susahnya sekarang ini jika wartawan tersebut tidak lulus atau belum pernah mengikuti UKW, ya pastilah dia tidak mengetahui apa itu kode etik jurnalistik, apa itu sistim pemberitaan ramah anak atau sistim peradilan anak. Makanya jika satu media yang memuat atau melanggar sistim pemberitaan ramah anak dapat langsung Dipidana,"ucap Ketua PWI Sumut.

Sementara itu, Wakil ketua, Dewan Pers, Hendry Ch Bangun pada awak media ( 22/3/2022) melalui sambungan telepon mengatakan senada dengan ketua PWI Sumut.

" Jadi pedoman pemberitaan ramah anak itu memuat, kan jika kena undang-undang peradilan anak  dan orang tuanya merasa keberatan dan melaporkan hal tersebut, maka hukumannya 5 tahun penjara dan denda Rp.500.000.000, dendanya itu bukan atau tapi dan, artinya 5 tahun penjara ditambah denda Rp.500.000.000. Tak ada urusanya dengan hak bantah atau hak jawab jika dipakai undang-undang sistim peradilan pidana anak,'ucap Hendy Ch Bangun.


Kata mantan wartawan harian Kompas tahun 1984 ini lagi, tapi jika orang tuanya mengadu ke Dewan Pers maka itu menjadi pelanggaran kode etik. Nah jika media yang menerbitkan berita itu punya badan hukum tetap itu pelanggaran etik dan bila tidak berbadan hukum itu bisa dikenakan Undang -undang sistim peradilan pidana anak ( SPPA ) tapi yang mengadu harus orang tuanya.

" Jika media tersebut berbadan hukum itu tetap pelanggaran kode etik dan bila tidak berbadan hukum bisa dikenakan sistim peradilan pidana anak," pungkas Hendry Ch Bangun. 


Adapun pedoman pemberitaan ramah anak oleh Dewan Pers yakni :

1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga serta kekerasan atau kejahatan, konflik, dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasiz tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual, dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, media yang sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang, atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tetapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) hanya dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam UU sistem peradilan pidana anak. (RED)
Komentar Anda

Berita Terkini