Terkait TMS 75 Pegawai KPK, Ombudsman Diingatkan Agar Tidak Buat Kegaduhan

/ Rabu, 04 Agustus 2021 / 11.07


TOPINFORMASI.COM

JAKARTA - Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI) menyarankan Ombudsman maupun pihak lainnya untuk sabar menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait HUM Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021, tentang tatacara pengalihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi ASN. 



Ombudsman juga perlu menghormati hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan Pasal 69B dan 69 C tentang penyelidik dan penyidik adalah ASN. Keputusan dua lembaga hukum negara ini akan menentukan nasib 75 orang pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) tersebut.



"Ombudsman sudah terlalu jauh melampaui kewenangan lembaga negara. Padahal, pimpinan dari lembaga negara maupun pemerintah, menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang - undang (UU), berdasarkan fakta dan bukan karena pembentukan opini," ujar Koordinator PMPHI, Gandi Parapat kepada wartawan, Rabu (4/8/2021).



Gandi Parapat meminta Ombudsman untuk tidak terlalu jauh mencampuri masalah nasib 75 orang pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) tersebut. Apalagi, Ombudsman sampai mengeluarkan tudingan bahwa pimpinan KPK sudah melakukan maladministrasi. Tudingan ini harus dapat dibuktikan secara hukum.



"Sangat tidak etis jika Ombudsman yang terkesan memberikan ultimatum jika pemerintah maupun KPK tidak melaksanakan rekomendasi. Ombudsman harus menyadari, bahwa keputusan MA maupun MK yang menentukan nasib 75 orang pegawai KPK yang TMS tersebut. Ombudsman tidak pantas membuat kegaduhan di tengah pandemi ini," katanya.



Gandi menilai laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dengan menyatakan Menpan, Kemenkumham, BKN dan KPK, melakukan maladministrasi terkait 75 pegawai di lembaga antikorupsi yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan, sudah menimbulkan opini menyesatkan di tengah publik.



"Produk ORI itu merupakan produk administrasi berupa rekomendasi. Bukan perintah Undang - undang (UU) atau legal mandatory. Sementara itu, KPK bekerja melakukan seleksi wawasan tes kebangsaan dengan berbasis pada perintah dan mandat dari peraturan perundang-undangan. Untuk pengajuan keberatan selayaknya mengajukan gugatan ke PTUN," ungkap Gandi Parapat.


Gandi mengatakan, Ketua KPK Firli Bahuri tidak bisa mengikuti rekomendasi ORI dalam meloloskan 75 orang pegawai KPK yang TMS tersebut. Apakah benar LHP ORI terkait pengalihan pegawai KPK menjadi ASN? Apa merupakan kewajiban LHP ORI harus dilaksanakan? Apalagi, ORI merekomendasikan 75 pegawai yang TMS agar dialihkan menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021.


"Pimpinan KPK justru melakukan pelanggaran berat UU jika meluluskan 75 pegawai yang TMS agar dialihkan menjadi ASN. Rekomendasi ORI itu tidak serta merta menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika dilaksanakan justru negara ini melanggar UU tersebut, dan bukan hanya KPK. Karena itu, laporan ORI itu dinilai bisa menjerumuskan lembaga negara melanggar UU," jelas Gandi Parapat.


Oleh karena itu, Gandi Parapat menyarankan ORI maupun Komnas HAM untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan KPK dalam menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait HUM Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021, tentang tatacara pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Di samping itu, KPK juga masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan Pasal 69B dan 69 C tentang penyelidik dan penyidik adalah ASN.


"LHP ORI menyatakan bahwa Menpan, Jemenkumham, BKN, KPK, melakukan maladminidtrasi. Ini sangat aneh dan tidak berdasar. Bahkan semua keterangan ahli yang dimintai keterangan menyatakan bahwa apa yang dilakukan BKN dan KPK semuanya legal dan tidak ada yang keliru. Namun dalam kesimpulan ORI tidak sama sekali menggunakan keterangan para ahli dan para pihak terlapor," tegasnya.


Menurut Gandi Parapat, kesimpulan LHP ORI yang merekomendasikan kepada KPK untuk mengalihkan pegawai yang TMS agar diangkat ASN sangat keliru. Soalnya, tidak ada ruang bagi pegawai yang TMS untuk diangkat menjadi ASN. Justru sebaliknya, pegawai KPK yang TMS harus diberhentikan. Sebab, pegawai KPK yang TMS tidak memenuhi syarat UU Nomor 19 Tahun 2019.


"Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 itu menyatakan bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara dan Pegawai yang TMS tidak memenuhi syarat, sebagaimana Pasal 5 dan harus diberhentikan karena tidak memenuhi syarat sebagai ASN, sebagaimana  Pasal 23 Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021," pungkas Gandi Parapat.

Komentar Anda

Berita Terkini