Pemerintah Patok Rupiah Rp14 Ribu per Dolar AS Hingga 2019, Ini Dampak Negatifnya

/ Jumat, 18 Mei 2018 / 19.13
Topinformasi.com– Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pemerintah berencana mematok asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN 2019 berada di kisaran Rp13.700 hingga Rp14 ribu per dolar Amerika Serikat (AS). Asumsi ini melemah dibandingkan tahun 2018 yang dipatok  Rp13.400 per dolar AS.
“Pemerintah menyadari bahwa dengan arah normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat yang mendorong kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve, pada tahun 2019 banyak faktor yang akan menjadi tantangan dalam menjadi stabilitas dan pergerakan nilai tukar rupiah,” ujar Sri Mulyani, saat membacakan Pengantar dan Keterangan Pemerintah atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2019 di Sidang Paripurna DPR, Jumat (18/5/2018).
Sri Mulyani beralasan rentang asumsi nilai tukar rupiah tahun depan cenderung melemah. Alasannya kebijakan moneter AS akan mempengaruhi pergerakan arus modal secara global. Namun Sri Mulyani menegaskan pergerakan nilai tukar rupiah dalam rentang yang memadai tidak selalu berarti negatif terhadap perekonomian domestik.

“Depresiasi nilai tukar pada batas tertentu dapat berdampak positif bagi perbaikan daya saing produk ekspor Indonesia, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Terkait, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai melemahnya nilai tukar rupiah akan berdampak terhadap, pertama, aliran modal asing yang keluar dapat semakin tinggi. Saat ini, mencapai Rp 8,6 triliun (year to date/ytd) sejak awal 2018.
“Itu dampak dari yield treasury atau surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun loncat ke 2,9 persen tertinggi dalam 4 tahun terakhir. Otomatis yield spread dengan SBN (Surat Berharga Negara) Indonesia makin sempit. Investor akhirnya mencatat penjualan bersih dan memburu surat utang AS,” ungkapnya.
Kedua, daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor, menjadi melemah. Lantaran, beberapa sektor industri bergantung oleh impor bahan baku dan barang modal.
“Kalau dolarnya mahal, biaya produksi pasti naik ujungnya harga barang jadi lebih mahal. Sementara konsumsi domestiknya masih stagnan, maka pengaruh ke profit ke pengusaha juga dapat semakin rendah,” terangnya.
Risiko berikutnya adalah beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi makin besar. Risiko gagal bayar apalagi utang swasta yang belum dilindung nilai (hedging) akan naik.
Terakhir, Indonesia sebagai negara net importir minyak mentah sangat sensitif terhadap pergerakan dolar. Tercatat impor minyak Indonesia sebanyak 350-500 ribu barel per hari, karena produksi dalam negeri tak mencukupi konsumsi BBM.
“Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non-subsidi. Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jenis diprediksi akan terus dilakukan,” ucap Bhima.(sbr.Politik today)
Komentar Anda

Berita Terkini