Banyak program, kegiatan, dan isu pajak yang mengemuka di 2017. Tujuh di antaranya monumental sebagai landasan kokoh bagi pengamanan penerimaan pajak ke depan.
Pertama, Amnesti Pajak. Pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan kesalahan atau kealpaan terkait kewajiban perpajakan di masa lampau, tanpa dikenakan sanksi maupun tuntutan hukum dengan membayar sejumlah uang dengan nilai atau persentase berdasarkan perhitungan tertentu.
Program skala besar di tingkat nasional yang dimulai pada Juli 2016 dan berakhir Maret 2017 menjadi salah satu momentum besar peningkatan kepatuhan wajib pajak. Muaranya adalah perluasan basis wajib pajak. Terutama pelaku ekonomi dan objek pajak yang sebelumnya tidak tercatat dalam sistem administrasi Ditjen Pajak.
Dari awal program ini dicanangkan sampai selesainya, Amnesti Pajak mencatat nilai repatriasi harta yang dilaporkan sebesar Rp146 triliun, uang tebusan yang mencapai Rp114 triliun atau sekitar 1% dari PDB 2016, dengan sebanyak 973.426 wajib pajak yang ikut serta dalam program ini dan harta yang dilaporkan setara Rp4.884 triliun.
Kedua, Reformasi Perpajakan. Program yang dicanangkan akhir 2016 ini merupakan perubahan sistem perpajakan yang menyeluruh, termasuk di dalamnya pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis perpajakan.
Upaya perbaikan ini diwujudkan melalui transformasi terhadap lima pilar yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan. Tujuannya agar Ditjen Pajak menjadi institusi yang kuat, kredibel, dan akuntabel.
Saat ini Tim Reformasi Perpajakan terus bekerja. Utamanya menciptakan sistem pengawasan kepada wajib pajak yang tidak manual dan hanya mengandalkan mata melainkan satu sistem yang mumpuni yaitu core tax.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017. Perppu tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan ini dikeluarkan awal Mei 2017. Ini merupakan konsekuensi bergabungnya Indonesia menjadi salah satu dari 142 anggota Forum Global yang menerapkan transparansi dan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan.
Jika Indonesia tidak memenuhi komitmennya mengeluarkan beleid yang membuka kerahasiaan perbankan itu sampai batas tanggal 30 Juni 2017 maka banyak kerugian yang didapat. Dalam pergaulan internasional dua julukan buat Indonesia yaitu negara dengan peringkat Patuh Sebagian dan negara yang gagal dalam mewujudkan komitmen standar AEOI (Automatic Exchange of Information).
Intinya dengan adanya Perppu itu tidak ada lagi tempat sembunyi buat wajib pajak yang tidak patuh untuk merahasiakan hartanya. Juga membawa berkah tersendiri yaitu bertambah luasnya basis data perpajakan yang dimiliki. Ini adalah kunci pas untuk meningkatkan rasio kepatuhan dan rasio pajak.
Perppu ini disahkan menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan pada 23 Agustus 2017.
Keempat, Pajak Bertutur. Kegiatan ini merupakan edukasi pajak yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia kepada 127.459 siswa di 2.182 sekolah mulai SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Atas gelaran kolosal pada 11 Agustus 2017 itu Ditjen Pajak mendapatkan piagam penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Namun bukan itu tujuan akhirnya, melainkan menciptakan wajib pajak yang patuh pada dua puluh hingga tiga puluh tahun mendatang. Dan di titik itu, momen ini adalah awal peluncuran Program Inklusi Kesadaran Pajak dalam dunia pendidikan Indonesia. Ditjen Pajak memberi perhatian penuh dan terus menerus.
Kelima, Pajak Penulis. Sisi perpajakan terhadap profesi penulis mengemuka dan menjadi perbincangan. Namun pada dasarnya asas keadilan dan kesederhanaan senantiasa dijunjung dalam pengenaan pajak terhadap penghasilan yang diterima wajib pajak, tidak terkecuali terhadap profesi mereka.
Penulis yang berpenghasilan bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang besarnya adalah 50% dari royalti yang diterima dari penerbit.
Di sini diperlukan kebijakan perpajakan yang memiliki kepastian hukum dan permanen. Tetapi untuk mengeluarkannya membutuhkan pertimbangan terhadap aspek legal dan analisis dampak kebijakan secara lebih luas. Jelas itu membutuhkan waktu yang tidak singkat namun Ditjen Pajak menghargai dan terbuka atas setiap masukan yang ada.
Keenam, PAS-Final. Ditjen Pajak meluncurkan program Pengungkapan Aset secara Sukarela dengan Tarif Final. Ini prosedur yang memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menyampaikan harta yang belum diungkap dalam Surat Pernyataan Harta peserta Amnesti Pajak, maupun belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan setelah berakhirnya periode Amnesti Pajak dengan syarat tertentu.
Wajib pajak yang mengikuti dan memenuhi syarat program ini diberikan fasilitas tidak dikenakan sanksi Pasal 18 Undang-undang Pengampunan Pajak. Karena tak berbatas waktu, tentu ini sebuah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, sepanjang Ditjen Pajak belum menemukan data atas harta yang dimaksud.
Yang perlu digarisbawahi adalah program ini bukan Amnesti Pajak jilid II namun semata memberi kesempatan, keadilan, pelayanan, kemudahan, dan tentu saja mendorong kepatuhan wajib pajak.
Ketujuh, Dagang-El atau dagang elektronik (e-commerce) ini menjadi isu menarik di akhir tahun. Di masa yang akan datang, dagang-el akan menggantikan perdagangan secara konvensional yang mulai meredup. Dari catatan Badan Pusat Statistik, sampai Agusus 2017 saja pembayaran transaksi daring mencapai Rp248,2 triliun. Tentunya bisnis ini memiliki potensi besar namun belum tergarap secara optimal utamanya soal penggalian potensi pajaknya.
Ditjen pajak serius berusaha mencandra atas transaksi ini. Dari data, regulasi, dan proses bisnis yang berlaku saat ini, Ditjen Pajak cenderung fokus terhadap penjualan konvensional, maka pemajakan terhadap dagang-el menjadi tantangan tersendiri. Setidaknya ke depan Ditjen Pajak akan membuat kantor khusus guna menanganinya.